Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Ketika Mahasiswa Kaya Seperti Ini, Sementara Mahasiswa Miskin Seperti Itu

Berbicara mengenai kemiskinan dalam hal ekonomi, banyak orang yang akan berpikiran luas dengan melihat kondisi ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Orang seakan sibuk untuk mencela kebijakan pemerintah tanpa memberikan solusi yang tepat, atau sekedar mengubah dirinya menjadi lebih baik. Mereka lupa bahwa orang-orang di sekitar mereka juga termasuk dalam kategori 'miskin' yang pendapatannya tak seberapa, namun harus mengeluarkan pengeluaran yang terus membengkak.

Tuntutan zaman 'pun berkembang semakin kompleks. Tak hanya orang kaya saja yang menginginkan anaknya untuk menjadi sukse seperti dirinya. Orang miskin pun berusaha agar anak cucunya kelak dapat sukses dan mengubah hidup orang tuanya agar lebih layak. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab berbondong-bondongnya mahasiswa dari berbagai daerah untuk mengenyam pendidikan strata satunya di kampus-kampus di kota, terutama Universitas Muhammadiyah Malang yang kemudian disingkat menjadi UMM. UMM dijadikan pilihan yang mentok karena biayayanya yang dapat dicicil, sehingga tidak memberatkan bagi yang membiayai.

Di awal perkuliahan, mahasiswa biasanya akan dihadapi dengan biaya SPP, DPP, dan biaya kos yang bernilai jutaan. Bagi mahasiswa kaya, hal tersebut bukanlah sesuatu yang 'wah' karena pendapatan orang tuanya yang mencukupi untuk membayar itu semua. Sedangkan bagi mahasiswa miskin, hal tersebut malah menjadi beban karena pendapatan orang tuanya yang tak menentu, ditambah dengan pengeluaran untuk uang bulanan yang harus dipaskan.

Ketika mahasiswa kaya hanya tinggal menelpon kedua orang tuanya untuk meminta uang ini itu, maka sehari kemudian akan mendapat kabar jika uang yang diminta telah siap untuk digesek. Sangat berbeda ketika mahasiswa miskin yang menghubungi kedua orang tuanya. Mereka hanya dapat menghela nafas tak berdaya ketika harus menunggu beberapa hari hingga kartu ATM-nya dapat digunakan.

Ketika mahasiswa kaya membawa berbagai macam gadget dalam genggaman mereka dan selalu berganti-ganti dalam mengikuti tren masa kini, mahasiswa miskin hanya bisa berpuas diri dengan satu gadget yang telah terpakai sejak masa putih abu-abu. Tak jarang mahasiswa miskin menuntut orang tuanya untuk dibelikan gadget baru agar bisa sedikit update dengan perkembangan zaman dan tidak terlalu terlihat tingkat kontras dengan teman-temannya. Namun yang mereka perlihatkan bukan senyum bahagis karen aorang tuanya akan membelikan apa yang diinginkan, mereka hanya akan tersenyum kecut dengan jawaban yang mereka dapat.

Ketika mahasiswa kaya bisa berjalan-jalan untuk merefresh otaknya dari kesibukan kuliah di tempat yang berbeda-beda, menghabiskan uang berpuluh bahkan beratus-ratus ribu hanya untuk makan malam. Sementara itu, mahasiswa miskin cukup berpuas diri dengan lalapan seharga tujuh ribuan untuk mengganjal perut ditemani dengan laptop yang menayangkan film kesayangannya sekedar sebagai hiburan.

Namun di luar itu, mahasiswa miskin tak jarang untuk meminta lebih pada kedua orang tuanya untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginannya di tempat rantauan tanpa mempedulika orang tuanya yang tengah memutar otak untuk menutupi biaya lainnya yang lebih mendesak. Mahasiswa yang banyak tuntutan seperti ini hanya bisa meminta tanpa berusaha untuk mencari jalan lain agar kebutuhan dan keinginannya dapat terpenuhi tanpa menunggu kiriman dari orang tuanya datang.

Jika saja mahasiswa miskin mau untuk berusaha lebih, entah mencoba peruntungan dari beasiswa yang telah disediakan, mencoba menulis dan mengirim proposal PKM, bekerja paruh waktu tanpa mengesampingkan kuliah yang menjadi prioritas untamanya di perantauan, serta usaha-usaha lain yang dirasa dapat mengisi kekosongan gambar para pahlawan di dompet miliknya. Tak lupa juga menyisihkan sedikit pendapatannya dari orang tuanya sekedarmenabung demi menutupi kebutuhan mendadaknya, mau bersyukur atas semua yang masih bisa diberikan oleh orang tersayangnya, serta bersedia untuk menekan keinginannya dan mendahulukan kebutuhan yang lebih mendesak. Seandainya saja mahasiswa miskin mau melakukan hal-hal tersbut, pastilah mereka tidak perlu lagi menyiksa orang tuanya dengan tuntutan-tuntutan mahasiswa yang tak pernah berakhir.



Sebenernya ini tugas kuliah, tapi kenapa bahasa di artikel ini sangat kacau dan terkesan mendramatisir(?) keadaan?? aidonnow lah, orang ini nulisnya ngalir gitu aja.
Yah, tapi tetep ngerasa ga pantes buat dikumpulin ke dosen.
Kenapa ga serius dikit?
Oh why??


28 Mei 2015
Tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia, tentang ketimpangan orang kaya dan orang miskin.





^^ Hikari Michi ^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS