Sinar matahari pagi mulai mengintip dibalik jendela sebuah kamar yang bernuansa putih. Di atas kasur yang tak jauh dari jendela itu, terlihat sebuah gundukan besar yang nampak gelisah ditengah kegiatan tidurnya. Meski matanya terpejam, namun terlihat jika ada sesuatu yang sedang mengusik tidurnya.
Tiba-tiba sosok pria bernama Wildan itu terduduk dari posisi semula. Seketika kesadarannya langsung terkumpul. Nafasnya memburu seakan telah berlari beratus-ratus meter. Matanya menerawang ruangan yang sedang ia tempati.
"Hah mimpi itu lagi"
***
Wildan melangkahkan kakinya menuju sebuah kulkas. Ia mengambil sebuah botol air mineral dan mulai meneguknya.
"Kenapa aku bermimpi itu lagi?" Ia meraih sebuah kalender kecil yang bertengger di atas kulkas. 08 Agustus 2013. Sebuah tanggal yang tercetak manis disana.
"Bahkan sudah hampir setahun, tapi kejadian itu masih tergambar jelas di ingatanku."
"Apa kau merindukanku hingga mengunjungiku lewat mimpiku?"
Ia menatap salah satu foto yang terpajang di bagian depan kulkasnya. Sebuah senyuman terukir dari bibir pria itu, namun tak beberapa lama wajahnya berubah sendu.
"Aku merindukanmu." Ucapnya sambil menatap lekat sebuah foto yang menampakkan wajahnya dan orang lain di dalamnya. Orang itu, orang yang sangat ia rindukan saat ini. Sekelebat kenangan masa lalu kembali menghiasi aktivitas pagi itu.
The miracle of you, it all seems like a fantasy
The last image of you seems to be locked only in my memories
***
Langit biru nan awan putih merupakan suatu paduan warna yang indah di atas sana. Pepohonan yang melambaikan daun-daunnya, serta angin yang bertiup semilir membuat hampir semua orang menyukai saat-sat seperti ini. Hal itu pula lah yang membuat senyum yang terkembang tak pernah lepas dari bibir seorang wanita yang sedang duduk di salah satu bangku taman.
"Sepertinya akan menyenangkan" Mata indahnya mulai menelusuri setiap detil di taman itu. Terdapat sepasang pemuda pemudi yang menghabisakan kebersamaan mereka di tempat ia berada sekarang.
"Tapi kenapa dia belum datang? Sudah sepuluh menit berlalu dan dia belum menunjukkan batang hidungnya di depanku. Awas saja nanti." Gerutunya dengan mengepalkan tangan kanan di depan wajahnya.
"Apa yang akan kau lakukan dengan tangan terkepal seperti itu?"
Sebuah suara yang amat dikenalnya tiba-tiba muncul dari arah yang berlainan dengan arah pandangannya. Gadis yang diketahui bernama Anisa itu sontak menoleh ke arah suara berasal.
"Apa jam di rumahmu rusak? Aku sudah menunggu dari tadi dan kau seenak jidat baru muncul sekarang?" Anisa terus berceloteh ria sedangkan Wildan hanya tersenyum dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
"Kau tak mendengarku? Kenapa malah senyum-senyum?"
"Aish kau tak suka pangeran tampan ini tersenyum padamu? Bahkan gadis-gadis lain sengaja mencari perhatian hanya untuk sekedar melihatku tersenyum." Jawaban yang super narsis dari Wildan ini hanya ditanggapi Annisa dengan memutar bola matanya, jengah.
"Sudahlah, ayo jalan." Ajak Anisa dengan menggandeng tangan kekasihnya.
Mereka menghabiskan sore itu dengan bermain-main di taman, dan bersepeda ria. Terlihat sekali rona kegembiraan terpancar dari wajah keduanya. Maklum lah, mereka jarang menghabiskan waktu bersama karena tuntutan pekerjaan masing-masing. Wildan bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan, dan Anisa yang bekerja sebagai penyanyi di salah satu cafe. Dan sore itu mereka meluangkan waktunya sekedar untuk berjalan-jalan di taman, menyegarkan pikiran dari pekerjaan yang sudah menunggu di keesokan harinya.
***
Di sebuah ruang kerja, Wildan terlihat menorehkan tinta pulpennya pada sebuah mini book. Menulis beberapa baris agenda yang akan ia lakukan bersama Anisa. Sebelumnya ia telah menanyakan jadwal Anisa satu minggu ke depan dan dia menemukan satu hari yang dapat ia gunakan untuk menghabiskan waktunya bersama Anisa. Tentunya setelah ia juga menyesuaikan dengan jadwal kerjanya sendiri. Wildan tak mungkin menulis asal semua yang telah ditulisnya karena belum tentu akan bisa dilaksanakan.
Wildan mengambil sebuah foto yang terbalut frame kecil di sekitarnya. Foto yang menampakkan dua senyum mengembang di dalamnya. Foto dirinya bersama Anisa yang di ambilnya sekitar empat bulan yang lalu.
Senyumnya terkembang dengan sempurna hingga menambah ketampanan wajahnya.
"Sampai jumpa rabu depan, sayang." Ucapnya seraya mencium foto tepat di wajah Anisa.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Seperti biasa, mereka hanya akan datang sendiri-sendiri hingga akhirnya saling bertatap muka di tempat yag dijanjikan. Kali ini Wildan memutuskan untuk mengajak dinner di salah satu restoran rekomendasi temannya.
Anisa tiba di restoran yang telah dijanjikan 10 menit lebih awal. Dia sengaja merias wajahnya dengan sedikit make up agar terlihat menarik di depan Wildan nanti. Setelah short dress warna hitam tampak membalut tubuhnya. Rambut hitam panjangnya ia biarkan tergerai dengan indah. Anisa terlihat sangat menawan malam ini.
"Permisi, mau pesan apa? Silahkan." Tanya salah seorang pelayan restoran dengan menyodorkan buku menu di depannya.
"Eumm.. Yang ini dua ya mbak." Anisa menunjuk salah satu menu lalu memberikan kembali buku menu yang ada di tangannya.
"Silahkan tunggu sebentar." Ucap sang pelayan yang hanya ditanggapi sebuah senyuman oleh Anisa.
***
Hidangan telah tersaji 20 menit yang lalu. Tapi orang yang membuat janji belum mengisi kursi kosong di depan wanita yang tak lagi menampakkan rona bahagia di wajahnya. Hanya ada raut masam di wajah cantiknya itu.
Anisa melihat jam di hapenya. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu dari waktu janjian mereka. Kali ini adalah waktu terlama dia dibiarkan menunggu sendirian.
"Oke ini sudah keterlaluan. Lima menit lagi dia tidak datang, aku akan pergi." Bibirnya mulai menggerutu tentang keterlambatan kekasihnya itu. Tangan kirinya ia biarkan menopang dagu, sedangkan tangan kanannya masih setia memainkan sebuah putihnya.
"Apa-apaan ini? Bahkan dia tidak mengirim pesan satupun!!" Emosinya semakin tak terkendali karena yang ditunggu tak kunjung datang.
Sedangkan jauh di sudut sana, seorang pria dengan kemeja kotak-kotak menatap objek yang tampak emosi itu dengan senyum yang terus terkembang di sudut bibirnya.
Wildan merapikan style rambut ke atas yang semakin menambah daya tariknya.
"Baiklah, sepertinya sudah cukup. Ayo kita mulai." Ucapnya pada empat orang di sekitarnya.
Wildan melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Semakin mengembangkan senyum tatkala objek yang sedang ia tuju semakin dekat dengannya. Ia kemudian menduduki satu kursi di depan Anisa dengan senyum yang tak pernah terlepas darinya.
Anisa yang sedari tadi sudah emosi hanya menatap geram kekasihnya yang hanya bisa tersenyum di hadapannya.
'Hey bukankah dia harus meminta maaf dulu? Setidaknya tunjukkan sedikit rasa tidak bersalah karena telah membuatku menunggu lama disini.' Ucap Anisa dalam hati memandang seseorang di depannya.
'Dan apa-apaan itu? Dia malah meminum minuman di depannya tanpa menyapaku terlebih dahulu?' Sederet umpatan terus menguasai batinnya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Alunan sebuah musik tiba-tiba mengalun indah tepat di belakang Anisa berada. Terlihat jika Anisa mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati 4 laki-laki sedang memainkan alat musik masing-masing sehingga terdengar merdu bagi siapapun yang mendengarnya.
Anisa menatap kekasihnya seolah meminta penjelasan dari semua ini. Namun yang ia dapat hanya sebuah senyum dan tatapan penuh cinta dari orang di depannya. Seketika emosi yang sedari tadi menguasai dirinya tergantikan dengan kebahagiaan yang berlimpah. Ia tak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Ya walaupun sempat dibuat kesal pada awalnya.
Ia tahu betul bahwa kekasihnya bukan orang yang romantis. Bahkan ketika dia akan ulang tahun, Wildan malah menanyakan apa yang dia minta di hari ulang tahunnya tanpa berniat memberi kejutan apapun. Dan sekarang Wildan menunjukkan sisi romantisnya dengan sangat sukses. Rona kebahagiaan terlihat jelas di mata indah Anisa. Ia tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Wildan.
***
Setelah menghabiskan makan malam berdua, mereka melanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri kota di malam hari. Mereka memilih alun-alun kota dan duduk di salah satu bangku.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Tanya Anisa berniat untuk membuka pembicaraan antar keduanya.
"Baik, seperti biasa. Bagaimana denganmu?" Wildan bertanya balik dengan menolehkan wajahnya untuk melihat wajah kekasihnya di bawah temaram lampu alun-alun.
"Sama sepertimu. Beberapa pelanggan cafe sengaja datang di saat tahu aku tampil. Aku mengetahuinya dari salah seorang teman disana. Dia bilang kalau pelanggan itu hanya datang di jam-jam tampilku. Setelah itu dia pergi."
"Jadi sekarang kau sudah punya penggemar? Kau sengaja membuatku cemburu?"
"Hahaha kau cemburu? Ternyata tak sia-sia aku menceritakannya padamu. Hahaha" Tawa renyah terdengar disela perbincangan mereka. Lebih tepatnya tawa Anisa, karena Wildan malah memasang ekspresi muram di wajahnya.
"Eh apa maksudnya itu? Kau sengaja menceritakannya agar aku cemburu? Begitu?"
"Aish bukan begitu maksudku. Aku hanya menceritakan pekerjaanku. Kau saja yang cemburuan."
"Hmm yasudah." Sepertinya Wildan tak ingin memperpanjang perbincangan yang hanya akan membuatnya gelap mata. Ia percaya sepenuhnya pada orang di sampingnya itu. Keheningan pun menyelimuti keduanya.
"Emm sebenarnya.." Anisa kembali membuka pembicaraan untuk menghilangkan keheningan yang sempat menerpa mereka. Namun kali ini dia sedikit menundukkan wajahnya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Anisa kembali melanjutkan kata-katanya. Dia menatap wajah Wildan yang juga menatapnya. Menatap dalam bola mata yang menampakkan bayangan dirinya di dalamnya.
"Ada apa?"
"Aku.. Aku harus pergi ke luar kota." Anisa menundukkan wajahnya, ia tampak ragu mengatakannya.
"Kenapa? Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?" Sederet pertanyaan meluncur bebas dari bibir pria itu.
"Tidak, aku hanya.." Anisa kembali menggantung kalimatnya. Dia hanya bingung harus memulai dari mana. Dan hal itu sukses membuatnya gugup sekarang.
"Kau kenapa? Katakan padaku." Wildan menatap lurus ke arah Anisa. Ia menyadari ada yang tidak biasa dari kekasihnya saat ini.
Anisa menarik nafas panjang. Ia mencoba untuk tetap tenang. Bagaimanapun dia harus tetap menceritakannya.
"Emm.. "
I can't say those words, I really can't. As much as you were by my side
I'm sorry but I can't. Eveything comes shaking back to me now.
***
Jam dinding sudah menunjukkan salah satu jarum yang lebih pendeknya di angka satu, namun di dalam sebuah kamar yang tak terlalu besar itu, seorang pria terus berjalan ke kiri dan ke kanan. Tangan kiri dan kanannya tetap setia berada di pinggangnya.
Sepertinya rasa kantuk sama sekali tak menguasainya sekarang. Ia belum, atau tak berniat untuk segera menemui alam mimpi yang sudah menunggunya. Pikiran buruk terus memunuhi otaknya saat ini. Ya, Wildan sedang mencerna apa yang telah dikatakan oleh kekasihnya.
#Flashback
""
#EndFlashback
"Aaaargh~" Teriaknya dengan mengacak rambut yang sekarang tampak tak beraturan. Menurutnya kepergian Anisa ke luar kota tak beralasan. Alasan yang diungkapkan kekasihnya itu sama sekali tak masuk akal. Wajar jika dia merasa ada yang berbeda dari kekasihnya itu.
Wildan mengambil posisi duduk di samping ranjangnya. Ia mencoba untuk tetap tenang dan mencari jalan keluar dari masalahnya itu. Ia terus berkutat dengan pikirannya dan memutuskan untuk memejamkan matanya saat jarum jam menunjuk di angka 3.
Tiba-tiba sosok pria bernama Wildan itu terduduk dari posisi semula. Seketika kesadarannya langsung terkumpul. Nafasnya memburu seakan telah berlari beratus-ratus meter. Matanya menerawang ruangan yang sedang ia tempati.
"Hah mimpi itu lagi"
***
Wildan melangkahkan kakinya menuju sebuah kulkas. Ia mengambil sebuah botol air mineral dan mulai meneguknya.
"Kenapa aku bermimpi itu lagi?" Ia meraih sebuah kalender kecil yang bertengger di atas kulkas. 08 Agustus 2013. Sebuah tanggal yang tercetak manis disana.
"Bahkan sudah hampir setahun, tapi kejadian itu masih tergambar jelas di ingatanku."
"Apa kau merindukanku hingga mengunjungiku lewat mimpiku?"
Ia menatap salah satu foto yang terpajang di bagian depan kulkasnya. Sebuah senyuman terukir dari bibir pria itu, namun tak beberapa lama wajahnya berubah sendu.
"Aku merindukanmu." Ucapnya sambil menatap lekat sebuah foto yang menampakkan wajahnya dan orang lain di dalamnya. Orang itu, orang yang sangat ia rindukan saat ini. Sekelebat kenangan masa lalu kembali menghiasi aktivitas pagi itu.
The miracle of you, it all seems like a fantasy
The last image of you seems to be locked only in my memories
***
Langit biru nan awan putih merupakan suatu paduan warna yang indah di atas sana. Pepohonan yang melambaikan daun-daunnya, serta angin yang bertiup semilir membuat hampir semua orang menyukai saat-sat seperti ini. Hal itu pula lah yang membuat senyum yang terkembang tak pernah lepas dari bibir seorang wanita yang sedang duduk di salah satu bangku taman.
"Sepertinya akan menyenangkan" Mata indahnya mulai menelusuri setiap detil di taman itu. Terdapat sepasang pemuda pemudi yang menghabisakan kebersamaan mereka di tempat ia berada sekarang.
"Tapi kenapa dia belum datang? Sudah sepuluh menit berlalu dan dia belum menunjukkan batang hidungnya di depanku. Awas saja nanti." Gerutunya dengan mengepalkan tangan kanan di depan wajahnya.
"Apa yang akan kau lakukan dengan tangan terkepal seperti itu?"
Sebuah suara yang amat dikenalnya tiba-tiba muncul dari arah yang berlainan dengan arah pandangannya. Gadis yang diketahui bernama Anisa itu sontak menoleh ke arah suara berasal.
"Apa jam di rumahmu rusak? Aku sudah menunggu dari tadi dan kau seenak jidat baru muncul sekarang?" Anisa terus berceloteh ria sedangkan Wildan hanya tersenyum dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
"Kau tak mendengarku? Kenapa malah senyum-senyum?"
"Aish kau tak suka pangeran tampan ini tersenyum padamu? Bahkan gadis-gadis lain sengaja mencari perhatian hanya untuk sekedar melihatku tersenyum." Jawaban yang super narsis dari Wildan ini hanya ditanggapi Annisa dengan memutar bola matanya, jengah.
"Sudahlah, ayo jalan." Ajak Anisa dengan menggandeng tangan kekasihnya.
Mereka menghabiskan sore itu dengan bermain-main di taman, dan bersepeda ria. Terlihat sekali rona kegembiraan terpancar dari wajah keduanya. Maklum lah, mereka jarang menghabiskan waktu bersama karena tuntutan pekerjaan masing-masing. Wildan bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan, dan Anisa yang bekerja sebagai penyanyi di salah satu cafe. Dan sore itu mereka meluangkan waktunya sekedar untuk berjalan-jalan di taman, menyegarkan pikiran dari pekerjaan yang sudah menunggu di keesokan harinya.
***
Di sebuah ruang kerja, Wildan terlihat menorehkan tinta pulpennya pada sebuah mini book. Menulis beberapa baris agenda yang akan ia lakukan bersama Anisa. Sebelumnya ia telah menanyakan jadwal Anisa satu minggu ke depan dan dia menemukan satu hari yang dapat ia gunakan untuk menghabiskan waktunya bersama Anisa. Tentunya setelah ia juga menyesuaikan dengan jadwal kerjanya sendiri. Wildan tak mungkin menulis asal semua yang telah ditulisnya karena belum tentu akan bisa dilaksanakan.
Wildan mengambil sebuah foto yang terbalut frame kecil di sekitarnya. Foto yang menampakkan dua senyum mengembang di dalamnya. Foto dirinya bersama Anisa yang di ambilnya sekitar empat bulan yang lalu.
Senyumnya terkembang dengan sempurna hingga menambah ketampanan wajahnya.
"Sampai jumpa rabu depan, sayang." Ucapnya seraya mencium foto tepat di wajah Anisa.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Seperti biasa, mereka hanya akan datang sendiri-sendiri hingga akhirnya saling bertatap muka di tempat yag dijanjikan. Kali ini Wildan memutuskan untuk mengajak dinner di salah satu restoran rekomendasi temannya.
Anisa tiba di restoran yang telah dijanjikan 10 menit lebih awal. Dia sengaja merias wajahnya dengan sedikit make up agar terlihat menarik di depan Wildan nanti. Setelah short dress warna hitam tampak membalut tubuhnya. Rambut hitam panjangnya ia biarkan tergerai dengan indah. Anisa terlihat sangat menawan malam ini.
"Permisi, mau pesan apa? Silahkan." Tanya salah seorang pelayan restoran dengan menyodorkan buku menu di depannya.
"Eumm.. Yang ini dua ya mbak." Anisa menunjuk salah satu menu lalu memberikan kembali buku menu yang ada di tangannya.
"Silahkan tunggu sebentar." Ucap sang pelayan yang hanya ditanggapi sebuah senyuman oleh Anisa.
***
Hidangan telah tersaji 20 menit yang lalu. Tapi orang yang membuat janji belum mengisi kursi kosong di depan wanita yang tak lagi menampakkan rona bahagia di wajahnya. Hanya ada raut masam di wajah cantiknya itu.
Anisa melihat jam di hapenya. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu dari waktu janjian mereka. Kali ini adalah waktu terlama dia dibiarkan menunggu sendirian.
"Oke ini sudah keterlaluan. Lima menit lagi dia tidak datang, aku akan pergi." Bibirnya mulai menggerutu tentang keterlambatan kekasihnya itu. Tangan kirinya ia biarkan menopang dagu, sedangkan tangan kanannya masih setia memainkan sebuah putihnya.
"Apa-apaan ini? Bahkan dia tidak mengirim pesan satupun!!" Emosinya semakin tak terkendali karena yang ditunggu tak kunjung datang.
Sedangkan jauh di sudut sana, seorang pria dengan kemeja kotak-kotak menatap objek yang tampak emosi itu dengan senyum yang terus terkembang di sudut bibirnya.
Wildan merapikan style rambut ke atas yang semakin menambah daya tariknya.
"Baiklah, sepertinya sudah cukup. Ayo kita mulai." Ucapnya pada empat orang di sekitarnya.
Wildan melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Semakin mengembangkan senyum tatkala objek yang sedang ia tuju semakin dekat dengannya. Ia kemudian menduduki satu kursi di depan Anisa dengan senyum yang tak pernah terlepas darinya.
Anisa yang sedari tadi sudah emosi hanya menatap geram kekasihnya yang hanya bisa tersenyum di hadapannya.
'Hey bukankah dia harus meminta maaf dulu? Setidaknya tunjukkan sedikit rasa tidak bersalah karena telah membuatku menunggu lama disini.' Ucap Anisa dalam hati memandang seseorang di depannya.
'Dan apa-apaan itu? Dia malah meminum minuman di depannya tanpa menyapaku terlebih dahulu?' Sederet umpatan terus menguasai batinnya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Alunan sebuah musik tiba-tiba mengalun indah tepat di belakang Anisa berada. Terlihat jika Anisa mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati 4 laki-laki sedang memainkan alat musik masing-masing sehingga terdengar merdu bagi siapapun yang mendengarnya.
Anisa menatap kekasihnya seolah meminta penjelasan dari semua ini. Namun yang ia dapat hanya sebuah senyum dan tatapan penuh cinta dari orang di depannya. Seketika emosi yang sedari tadi menguasai dirinya tergantikan dengan kebahagiaan yang berlimpah. Ia tak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Ya walaupun sempat dibuat kesal pada awalnya.
Ia tahu betul bahwa kekasihnya bukan orang yang romantis. Bahkan ketika dia akan ulang tahun, Wildan malah menanyakan apa yang dia minta di hari ulang tahunnya tanpa berniat memberi kejutan apapun. Dan sekarang Wildan menunjukkan sisi romantisnya dengan sangat sukses. Rona kebahagiaan terlihat jelas di mata indah Anisa. Ia tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Wildan.
***
Setelah menghabiskan makan malam berdua, mereka melanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri kota di malam hari. Mereka memilih alun-alun kota dan duduk di salah satu bangku.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Tanya Anisa berniat untuk membuka pembicaraan antar keduanya.
"Baik, seperti biasa. Bagaimana denganmu?" Wildan bertanya balik dengan menolehkan wajahnya untuk melihat wajah kekasihnya di bawah temaram lampu alun-alun.
"Sama sepertimu. Beberapa pelanggan cafe sengaja datang di saat tahu aku tampil. Aku mengetahuinya dari salah seorang teman disana. Dia bilang kalau pelanggan itu hanya datang di jam-jam tampilku. Setelah itu dia pergi."
"Jadi sekarang kau sudah punya penggemar? Kau sengaja membuatku cemburu?"
"Hahaha kau cemburu? Ternyata tak sia-sia aku menceritakannya padamu. Hahaha" Tawa renyah terdengar disela perbincangan mereka. Lebih tepatnya tawa Anisa, karena Wildan malah memasang ekspresi muram di wajahnya.
"Eh apa maksudnya itu? Kau sengaja menceritakannya agar aku cemburu? Begitu?"
"Aish bukan begitu maksudku. Aku hanya menceritakan pekerjaanku. Kau saja yang cemburuan."
"Hmm yasudah." Sepertinya Wildan tak ingin memperpanjang perbincangan yang hanya akan membuatnya gelap mata. Ia percaya sepenuhnya pada orang di sampingnya itu. Keheningan pun menyelimuti keduanya.
"Emm sebenarnya.." Anisa kembali membuka pembicaraan untuk menghilangkan keheningan yang sempat menerpa mereka. Namun kali ini dia sedikit menundukkan wajahnya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Anisa kembali melanjutkan kata-katanya. Dia menatap wajah Wildan yang juga menatapnya. Menatap dalam bola mata yang menampakkan bayangan dirinya di dalamnya.
"Ada apa?"
"Aku.. Aku harus pergi ke luar kota." Anisa menundukkan wajahnya, ia tampak ragu mengatakannya.
"Kenapa? Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?" Sederet pertanyaan meluncur bebas dari bibir pria itu.
"Tidak, aku hanya.." Anisa kembali menggantung kalimatnya. Dia hanya bingung harus memulai dari mana. Dan hal itu sukses membuatnya gugup sekarang.
"Kau kenapa? Katakan padaku." Wildan menatap lurus ke arah Anisa. Ia menyadari ada yang tidak biasa dari kekasihnya saat ini.
Anisa menarik nafas panjang. Ia mencoba untuk tetap tenang. Bagaimanapun dia harus tetap menceritakannya.
"Emm.. "
I can't say those words, I really can't. As much as you were by my side
I'm sorry but I can't. Eveything comes shaking back to me now.
***
Jam dinding sudah menunjukkan salah satu jarum yang lebih pendeknya di angka satu, namun di dalam sebuah kamar yang tak terlalu besar itu, seorang pria terus berjalan ke kiri dan ke kanan. Tangan kiri dan kanannya tetap setia berada di pinggangnya.
Sepertinya rasa kantuk sama sekali tak menguasainya sekarang. Ia belum, atau tak berniat untuk segera menemui alam mimpi yang sudah menunggunya. Pikiran buruk terus memunuhi otaknya saat ini. Ya, Wildan sedang mencerna apa yang telah dikatakan oleh kekasihnya.
#Flashback
""
#EndFlashback
"Aaaargh~" Teriaknya dengan mengacak rambut yang sekarang tampak tak beraturan. Menurutnya kepergian Anisa ke luar kota tak beralasan. Alasan yang diungkapkan kekasihnya itu sama sekali tak masuk akal. Wajar jika dia merasa ada yang berbeda dari kekasihnya itu.
Wildan mengambil posisi duduk di samping ranjangnya. Ia mencoba untuk tetap tenang dan mencari jalan keluar dari masalahnya itu. Ia terus berkutat dengan pikirannya dan memutuskan untuk memejamkan matanya saat jarum jam menunjuk di angka 3.
0 komentar:
Posting Komentar